SEORANG teman yang lama tidak komunikasi tiba-tiba menelpon dan bertanya, apakah dibolehkan media menayangkan persidangan yang isinya menjelaskan kasus pelecehan seksual secara gamblang? Tampaknya teman ini risi juga menonton televisi yang menyiarkan secara langsung sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP-RI) terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, yang (kemudian dikatakan) benar melakukan pelecehan seksual terhadap seorang wanita.
Oleh sebab saya, memang, tidak pernah mengikuti kasus tersebut sehingga tidak tahu isi sidang DKPP, juga tidak tertarik, saya jawab selama untuk kepentingan publik, boleh.
Setelah teman tutup telpon saya pun mencari tahu, mengapa dia gelisah? Ternyata berita persidangan DKPP cukup ramai dan menjadi pembicaraan termasuk pro dan kontra banyak orang. Isi berita dari persidangan DKPP terhadap Hasyim Asy’ari, menurut saya, cukup seronok.
Tetapi agak mengejutkan juga ketika tahu, ternyata, sidang yang digelar DKPP tersebut bersifat terbuka untuk umum. Antara lain dijelaskan kelakuan Hasyim Asy’ari dari upaya mendekati si wanita sampai urusan ”hotel”.
Pengalaman, sebagai wartawan, meliput di pengadilan negeri (PN) ketika kasus perkosaan atau istilah sekarang pelecehan seksual, sidang dilakukan secara tertutup. Ketika sidang dibuka oleh hakim, kemudian hakim mengucapkan, sidang dinyatakan tertutup, serta merta wartawan keluar. Kemudian petugas PN menutup pintu ruang sidang rapat-rapat.
Ada yang menarik bedanya sidang tertutup di PN dengan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senayan. Begitu hakim PN menyatakan sidang tertutup untuk umum, wartawan keluar dan tidak ada yang berupaya “nguping”.
Biasanya, wartawan keluar duduk di kantin seraya menunggu sidang berlangsung. Tetapi ketika pimpinan sidang komisi di DPR menyatakan bahwa sidang tertutup, wartawan yang sedang duduk di kantin dapat info tersebut, serta merta berhamburan lari menuju pintu sidang. Dorong dikit pintu biar ada celah bisa nguping pembicaraan anggota dewan, ada yang menyorongkan tape recorder ke dalam ruang sidang dari bawah pintu.
Saya tidak tau apakah ada perintah pimpinan sidang dari DKPP menyatakan sidang dinyatakan terbuka atau tidak? Selama tidak ada pernyataan sidang tertutup untuk umum pertanda, ya, terbuka untuk umum. Apakah ini suatu keteledoran atau, memang, sengaja dilakukan setelah dipertimbangkan oleh DKPP?
Follow Berita Okezone di Google News
Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di
ORION, daftar sekarang dengan
klik disini
dan nantikan kejutan menarik lainnya
Etika Jurnalistik
Pro kontra kemudian muncul terhadap Sidang DKPP yang terbuka untuk umum ini. Tetapi saya tidak membahas hal itu. Menjawab teman saya bahwa untuk kepentingan publik maka dibenarkan media menyiarkan suatu peristiwa.
Dalam Pasal 7 ayat 2 Undang-undang No. 40 tahun 1999 Tentang Pers disebutkan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Selanjutnya dalam Pasal 9 KEJ dijelaskan, Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Ayat 2 Pasal ini menjelaskan, Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Tapi apakah media menayangkan jalan persidangan karena tahu dan berlindung di balik Pasal 9 Kode Etik Jurnalistik? Atau karena alasan mengejar klikbait, mengejar jumlah penonton atau pembaca medianya? Wallahu a’lam bishawab!
Komisioner KPU, termasuk ketuanya, siapapun orangnya adalah pejabat publik. Yaitu orang yang diberi tugas dan menerima untuk menduduki posisi atau jabatan pada badan publik. Kira-kira begini, pejabat publik dibayar pemerintah dari hasil pajak publik. Maka, publik berhak tahu apa yang dilakukan wakilnya termasuk penggunaan uang dan fasilitasnya.
Pada dasarnya setiap orang berhak atas privasi. Namun, ketika seseorang terjun dalam kehidupan publik atau mengemban jabatan publik maka harus memahami betul perannya. Sebab, persoalan tertentu yang dianggap pribadi oleh seseorang dapat menjadi masalah karena, ternyata, terkait dengan kepentingan publik. Menjadi pelayan masyarakat berarti mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Pada praktiknya, setiap orang akan membedakan antara masalah pribadi dan publik di tempat yang sedikit berbeda. Tetapi secara umum, jika masalah pribadi mempengaruhi kinerja tugas pejabat, kebanyakan orang akan setuju bahwa hal itu tidak lagi bersifat pribadi.
Bahkan, publik layak tahu penyakit seorang presiden karena ini menyangkut keberlangsungan negara. Termasuk juga wakil rakyat karena konstituen merasa terwakili dengan baik jika ia mempraktikkan nilai-nilai kejujuran dan dapat dipercaya.
Terlepas dari sidang DKPP terhadap pejabat publik itu terbuka kemudian media menayangkan penuh jalannya persidangan dengan alasan untuk kepentingan publik tetapi etika jurnalistik tetap harus dikedepankan.
Mengacu pada Pasal 2 KEJ, mewajibkan seluruh Jurnalis dan media masa untuk menghormati hak privasi dan menghormati pengalaman traumatik subyek berita dalam penyajian gambar, foto, suara.
Menjaga perasaan keluarga sebagai korban terdampak, terutama anak pelaku, dengan memberitakan yang menyentuh ruang pribadi dan keluarganya tetap perlu dipertimbangkan. Keluarga pelaku memiliki kehidupan pribadi yang wajib dihormati semua pihak termasuk pers.
Mengutip catatan Imam Wahyudi, seorang wartawan senior yang pernah bekerja untuk televisi dan mantan anggota Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik adalah etika atau acuan tentang apa yang boleh (karena baik) dan tidak boleh (karena buruk) yang dikodifikasikan.
Artinya di luar yang dikodifikasikan masih ada banyak etika jurnalistik yang mesti dipatuhi. Etika jurnalistik menjadi standar acuan dalam berfikir dan bertindak para jurnalis. Jadi, ketika hakim sidang apapun mengatakan sidang terbuka, bukan berarti jurnalis bisa bebas sebebas-bebasnya dalam memberitakan.
Setiap jurnalis harus kembali mengacu pada etika jurnalistik. Termasuk jika korban pelecehan menyatakan bahwa dia bersedia diekspos identitas pribadinya. Itu bukan berarti lampu hijau bagi jurnalis untuk gaspol. Mereka tetap harus menimbang apakah pengungkapan identitas korban baik bagi korban dan bagi publik.
Pelecehan Seksual
Kasus yang menjerat Hasyim Asy’ari adalah pelecehan seksual. Dalam sejumlah literatur yang disebut pelecehan seksual memang kemudian menjadi luas. Antara lain, ucapan seksual, pandangan dan gerakan yang bernada seksual.
Kemudian menyentuh atau mencengkeram dengan maksud seksual. Permintaan kencan juga termasuk dalam pelecehan seksual. Pendeknya, semua itu harus tidak diinginkan oleh mereka yang merasa dilecehkan. Tetapi jika perilaku tersebut diterima dengan senang hati? Tentu itu tidak termasuk alias bukan pelecehan, wong, mau.
Tapi jika melirik saja bisa masuk kategori pelecehan seksual, bisa banyak orang tidak punya pasangan hidup. Sebab lirikan yang menyiratkan seksualitas terkadang merupakan cara yang positif untuk memulai hubungan.
Orang tidak melamar pasangan seperti melamar pekerjaan dengan berkas kertas tetapi kadang melalui tindakan memandang, berbicara dan menggoda. Bisa ditolak bisa juga lanjut punya anak.
Pada intinya penayangan berita adalah untuk memberi informasi, mendidik pendengar/pemirsa/pembaca tentang hal-hal yang menjadi kepentingan umum. Sekaligus kritik terhadap pemerintah atau pengadilan untuk lebih baik dan tercapainya keadilan.
Media televisi di Indonesia sudah sering menayangkan jalannya persidangan, bukan hanya pada kasus DKPP tetapi juga di PN, seperti pada kasus Jesica, Sambo dan sekarang sedang ramai perkara Pegy Cirebon. Tetapi, konon, baik sejarah maupun penelitian meragukan bahwa liputan televisi dapat meningkatkan keadilan, melindungi kebebasan, meningkatkan pemahaman publik dan mempercepat sistem pengadilan menjadi lebih baik.
Penulis: Eddy Koko
Seorang Wartawan
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Follow